bantuan bagi yang butuh referensi

Loading

Kamis, 14 November 2013

MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN PADA NY ”S”DENGAN PUD (PENDARAHAN TERUS DISFUNGSIONAL) + ANEMIA BERAT DI RUANGAN GYNEKOLOGI IRNA A KEBIDANAN RSUP DR.M.DJAMIL PADANG 11 NOVEMBER 2013


BAB II
TINJAUAN TEORI
A.           PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL (PUD)
Pengertian
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal dalam hal jumlah, frekuensi, dan lamanya yang terjadi baik di dalam maupun di luar siklus haid, merupakan gejala klinis yang semata-mata karena suatu gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium tanpa adanya kelainan organik alat reproduksi (Ali, 1989).
Perdarahan uterus disfungsional merupakan sebab tersering perdarahan abnormal per vaginam pada masa reproduksi wanita. Dilaporkan gangguan ini terjadi pada 5-10% wanita (Dodds, 2004). Lebih dari 50% terjadi pada masa perimenopause, sekitar 20% pada masa remaja, dan kira-kira 30% pada wanita usia reproduktif (Chalik, 1998). Ras bukan faktor penting, tetapi insidensi leiomyoma pada wanita ras Afrika lebih tinggi dan mereka memiliki kadar estrogen yang lebih banyak, karena itu mereka cenderung untuk lebih sering mengalami episode perdarahan abnormal pervaginam (Dodds, 2004).
Diagnosis dari PUD baru dapat ditegakkan bila penyebab organik dan fungsional lain (seperti kehamilan, infeksi maupun tumor) dari perdarahan abnormal tersebut sudah disingkirkan. Karena itu diagnosis PUD seringkali membutuhkan waktu yang lama. Terapinya tergantung dari usia penderita, waktu, dan intensitas perdarahan (Davidson, 1999). Hingga tahun 1980-an, histerektomi sering digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus yang berat, tetapi saat ini cara tersebut bukan merupakan pilihan yang utama, terutama pada wanita yang masih ingin memiliki anak. Dilatasi dan kuretase juga dapat dilakukan sebagai upaya pengobatan, namun di Indonesia cara ini tabu dilakukan pada wanita yang belum menikah, karena himen sangat tinggi nilainya, oleh karena itu usaha pengobatan secara hormonal menjadi salah satu pilihan walaupun pemberiannya harus diawasi secara ketat karena memiliki banyak efek samping (Ali, 1989).
Perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi maupun lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi, seperti radang, tumor, keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain (Dodds,2004).
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan ovulasi, suklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti table 1 4
Tabel 1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional (PUD) dan bentuk kelainannya.
Dasar kelainan
Bentuk klinis
Ovulasi
PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
Siklus
Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
Jumlah perdarahan
Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
Anemia
PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari tiga keadaan ketidak seimbangan hormonal, berupa: estrogen breakthrough bleeding, estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough bleeding.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum.Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak ber lawan.Haampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menars.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan 5 penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.
Penatalaksanaan Secara Umum Perdarahan Uterus  Disfungsional
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:
ü  Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars, reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
ü  Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau tidak
ü  Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:
a.       Memperbaiki keadaan umum
b.      Menghentikan perdarahan
c.       Mengembalikan fungsi hormon reproduksi.
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
d.      Menghilangkan ancaman keganasan
Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi.
Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-turut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan patologi yang ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus disfungsional.
Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Perbaikan keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
b.      Penghentian perdarahan
a.         Pemakaian hormon steroid seks
ü  Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu:
a.       Penyembuhan luka (healing effect)    
b.      Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
c.       Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
d.      Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis.
ü  Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol.Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih rinci terhadap pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian tersendiri .
ü  Androgen
Androgen Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17-α-etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.
b.      Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgEmeningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
c.       Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari)
d.      Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan. Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser.
Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi. Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerketomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase.
c.       Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.


d.      Siklus ovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26. Beberapa penulis menggunakan progesterone dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid.
e.       Siklus anovulatorik.
 Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesterone. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesterone, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.
Dasar Penggunaan Progesteron Dalam Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional Kronis
Progesteron merupakan hormon golongan progestin yang terpenting pada manusia. Selain karena khasiat hormonalnya, progesterone juga penting karena merupakan pembakal estrogen, androgen dan adrenokortiko steroid. Hormon ini pertama kali diisolasi dari korpus luteum. Pada awalnya progestin yang dikenal secara alamiah adalah progesterone. Belakangan dihasilkan jenis progestin lain yang dikenal sebagai progestin sintetik.

1.             Sifat kimia dan klasifikasi
Progesteron merupakan steroid dengan jumlah atom karbon (C) 21, yang dengan pengurangan atau penambahan atom karbon atau dengan aton O akan dihasilkan progestin lain. Melalui proses reduksi progestin diubah menjadi satu bentuk inaktif yaitu pregnandiol. Senyawa ini dipakai sebagai petandaa adanya progesterone di urine.3
Progesteron alamiah larut dalam lemak dan cepat mengalami absorbsi sehingga tidak disimpan ditubuh. Untuk mengatasi kekurangan itu, telah dibuat progestin sintetik yang larut dalam air dan lambat diabsorbsi sehingga kerjanya lebih lama dan dapat digunakan secara oral. Hingga kini dikenal dua golongan progestin yaitu:
a.       Progestin yang berasal dari progesterone alamiah
1.Turunan progesterone
2.Turunan asetoksiprogesteron
b.      Progestin yang berasal dari testosteron
1.Turunan testosteron
2.Turunan 19 nortestosteron
3.Biosintesis, metabolisme dan sekresi
Progesteron terutama dibentuk di ovarium oleh sel granulosa folikel matang, dan korpus luteum dari bahan dasar kolesterol melalui senyawa antara (pregnenolon) dengan bantuan enzim dehidrogenase dan isomerase. Selain itu hormon tersebut dihasilkan pula oleh plasenta, testis dan sel-sel korteks kelenjar adrenal. Sintesis dan sekresinya dipengaruhi oleh hormon LH. Pada fase praovulasi hormon ini disekresikan 1-3 mg /hari, sedangkan pada fase luteal madya sekresinya mencapai puncak (20-30 mg/hari). Kemudian menurun lagi dan pada fase haid mencapai keadaan terendah karena hanya disekresikan 1 mg/hari.
Pengubahan progesterone alamiah menjadi bentuk tidak aktif, 10-20% berlangsung dihati. Dalam 4 hari pertama setelah disuntikkan, 40-70% progesterone dapat ditemukan dalam urine dan seperenamnya dijumpai dalam bentuk pregnandiol (metabolit biologis inaktif) dalam bentuk terikat dengan asam glukoronat. Selebihnya 13-20% keluar dalam feses dan 10% disimpan dalam lemak tubuh. Progestin sintetik turunan testosteron barulah akan memiliki khasiat biologis, jika terlebih dahulu diaktifkan di hati menjadi noretisteron.
2.             Khasiat biologis pada genitalia interna
 Disamping khasiat progesteronnya, progestin juga mempunyai khasiat androgen dan estrogen yang derajatnya bergantung pada jenisnya.
Pada endometrium, hormon ini mengakibatkan fase sekresi jika sebelumnya telah dirangsang oleh estrogen. Perubahan tersebut ini ditandai oleh tampaknya badan-badan golgi pada sel endometrium. Setelah 14 hari paska ovulasi rangsangan progestron akan lucut. Penggunaan progesterone yang lebih dari 14 hari akan mengakibatkan degenerasi endometrium, stroma edematosa dan menyusut. Jika sediaan ini dipakai lebih lama lagi, maka endometrium akan menjadi atrofik.
Jika endometrium yang telah mengalami perangsangan estrogen (fase proliferasi) memperoleh progesterone dosis yang relatif rendah 20-40 mg) maka aterjadi perdarahan bercak. Perdarahan tersebut timbula akibat pengelupasan permukaan endometrium. Penghentiannya dapat dilakukan dengan pemberian progesterone yang cukup, tanpa mengubah fase endometrium karena hormon ini bekerja langsung pada pembuluh darah. Fase sekresi baru akan timbul jika dosis mencapai 200 mg atau pada pemakaian 10 hari
Terhadap miometrium progestron berkhasiat menghambat kontraksi. Penurunan kadarnya akan cepat mempengaruhi kerja oksitosin dan prostaglandin.
Perkembangan epitel vagina ternyata juga dipengaruhi oleh progesterone, dasar ini telah dipakai untuk menilai ovulasi dengan pemeriksaan sitologi serial usap vagina.
3.             Dasar Pemilihan Progestin
Melihat kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing jenis progestin, maka untuk memperoleh hasil guna yang tinggi, diperlukan ketepatan memilih progestin yang sesuai dengan keadaan penderita.
Secara umum pemilihan itu didasarkan pada:
                   i.      Farmakokinetik
Progestin golongan turunan progesterone alamiah merupakan senyawa yang telah aktif. Sedangkan golongan turunan testosteron merupakan senyawa yang belum aktif, sehingga harus diubah terlebih dahulu didalam hati menjadi noretisteron. Prasyarat ini merupakan beban bagi hati. Selain itu sebagian besar obat mengalami biotransformasi di dalam hati sehingga akan dapat menimbulkan interaksi dengan hormon progestin.

                 ii.      Farmakologi
Khasiat metabolik dari kedua golongan progestin tersebut di atas dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Farmakologi progestin.
Progestin
Inhibisi
gonadotropin
Aktifitas
Metabilisme
Androgen
Estrogen
Katabolisme
Anabolisme
Retensi
Gol I
-
-
-
+
-
-
Gol II
+
+
+
-
+
+
Ket:      Gol I : Progestin turunan progesterone alamiah
Gol II : Progestin turunan testosteron

Keuntungan dari progestin turunan progesterone alamiah adalah bahwa hormon ini:
2.      Mempengaruhi metabolisme lipid (HDL) seperti diketahui HDL merupakan lipoprotein yang kardioprotektif, sehingga penurunan HDL akan meningkatkan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.
3.      Menghambat enzim 5-reduktase, sehingga mampu menurunkan kadar testosteron penyebab maskulinisasi.
4.      Tidak mengganggu fungsi ovarium dan sintesis steroid seks
Golongan progestron alamiah lebih banyak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan golongan progesterone turunan testosteron baik segi afinitas terhadap reseptor progesterone di uterus maupun potensi relatif khasiat progesterone, estrogen dan androgen.
4.             Golongan progestin turunan progesterone alamiah.
Golongan hormon ini merupakan hasil rekayasa dari progestron alamiah, sehingga khasiatnya menyerupai induknya. Rekayasa ini dikembangkan karena adanya keterbatasan sifat-sifat progesterone alamiah. Rumus kimianyapun juga menyerupai rumus kimia progestron. Jenis-jenis progestin turunan progesterone alamiah adalah:
1.      Progesteron (preg-4-ene-3,20-dion)
2.      Didrogesteron (6-dehiroretro progesterone)
3.      Hidroksiprogestron kaproat
4.      Medroksi progesterone asetat (6α-metil 17α asetoksi progesterone)
5.      Megestrol asetat
5.             Mekanisme kerja
Golongan progestin ini menyebabkan perubahan pada endometrium yang telah mengalami perangsangan estrogen. Dari berbagai jenis hormon ini golongan hidroksi progesterone kaproat yang punya khasiat hambatan gonadotropin.
Mekanisme yang pasti bagaimana progesterone menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional belum sepenuhnya dapat diterangkan. Dipikirkan kemampuan ini dicapai berkat khasiat progestron terhadap pembentukan prostaglandin, pembentukan dan stabilisasi dinding lisosom, penghambatan kontraksi miometrium dan perangsangan arteriol. Khasiat tersebut diperoleh secara tersendiri atau sebagai interaksi dari pengaruh-pengaruh itu.
Sintesis prostaglandin dipengaruhi oleh kadar progesterone melalui perangsangan pembentukan badan golgi lisosom sel endometrium. Di dalam badan ini disimpan enzim-enzim hidrolase asil. Enzim utama dari hidrolase asil adalah fosfolipase A2 yang berfungsi sebagai katalisator pada pembentukan prostaglandin.
Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat dengan katalisator enzim fosfolipase A2. Dalam hal ini progesterone memiliki dua khasiat penting, yaitu menstabilkan dinding lisosom ini sehingga menghambat keluarnya enzim fosfolipase A2 ke sitoplasma dan mengaktifkan enzim 15-hidroksi prostaglandin dehidrogenase, suatu enzim penghancur prostaglandin. Kedua kerja ini menyebabkan pembentukan prostaglandin terhambat.
Selain itu progesterone melalui proses aromatisasi juga memicu dam memelihara pembentukan prolaktin pada endometrium yang sebelumnya mengalami perangsangan estrogen. Pada kadar yang tinggi ternyata prolaktin mampu menghambat penbentukan prostaglandin. Dengan demikian prolaktin ikut berperan dalam penghentian perdarahan.
Progesteron juga mampu menetralkan khasiat estrogen pada endometrium dengan merangsang perubahan estrogen menjadi metabolit yang inaktif, estron. Pengubahan ini dicapai melalui perangsangan estradiol dehidrogenase, estrogen sulfotransferaase dan aromatisasi. Selanjutnya, progesterone juga merupakaan anti mitosis dan anti pertumbuhan sel endometrium serta menurunkan konsentrasi reseptor endometrium.
Terhambatnya pembentukan dan turunnya kadar prostaglandin, terutama PgFketika kadar progesterone tinggi, menyebabkaaan berkurang atau hilangnya kontraksi miometrium, terutama subendometriumnya. Pada pihak lain kadar prostaglandin yang rendah menyebabkan dua perubahan yaitu:
a.                      Lenyapnya vasokonstriksi arteriol, sehingga daerah-daerah iskemik akan mendapatkan pasokan darah lagi.
b.                     Turunnya kadar leukotrien, sehingga enzim hidrolitik dan oksidase (penghambat jaringan) tidak dapat diaktifkan lagi. Dengan demikian hasil akhir dari pemberian progesterone pada perdarahan uterus disfungsional akan menghentikan perdarahan. Sampai dosis tertentu, merangsang pertumbuhan sel-sel epitel kelenjar endometrium dan arteriol yang tampil sebagai henti perdarahan.
Penggunaan Progestin Untuk Pengobatan Perdarahan Uterus Disfungsional Kronis
Pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan hormon progesterone didasarkan pada gejala klinis dan patofisiologinya. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik maksud pemberian progesteron selain untuk menghentikan perdarahan, juga adalah untuk mengembalikan panjang siklus haid kebatas normal.
a.              Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik.
Bentuk klinis perdarahan uterus disfungsional ovulatorik adalah oligomenorea dan polimenorea. Pada oligomenorea dasar dari terjadinya perdarahan ini adalah fase proliferasi yang memanjang atau fase sekresi yang memanjang. Pada fase proliferasi yang memanjang diberikan progesterone selama 10 hari, mulai hari ke 15 hingga hari ke 25 siklus haid. Sedangkan pada fase sekresi yang memanjang progesterone diberikan mulai hari ke 17 sampai hari ke 25, (tabel 3)








Tabel 3. Jenis, dosis dan cara pemberian progesterone pada PUD kronik.
Jenis Progestin
Dosis mg/hari
Cara pemberian
Sediaan mg/ml
Nama dagang
Progesteron
50-100
Im
Sup
Susp 25,50,100
Sup 25

MPA
10-20
Oral
Tab 2,5,10
Provera
Hidroksi progesteron
125-250/ siklus
Im
Susp 125,250
Dilalutin
Proluton depot
Didrogesteron
10-20
Oral
Tab 10
Duphaston
Linestrenol
5-10
Oral
Tab 5
Endometril
Noretisteron
5-20
Oral
Tab 5,10
Primolut N
b.             Perdarahan uterus disfungsional karena kelainan korpus luteum.
Kelainan korpus luteum dapat berupa insufisiensi korpus luteum atau korpus luteum persisten (memanjang).
Bentuk klinis pada insufisiensi korpus luteum adalah bercak prahaid dan polimenorea. Kedua kelainan ini diobati dengan progestron mulai hari ke 17 hingga hari ke 26. Korpus luteum persisten akan menimbulkan bentuk klinik oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang lain, disini juga diberikan progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25.
c.              Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional kronik anovulatorik menampilkan gejala oligomenorea dan metroragia. Disini oligomenorea diatasi dengan pemberian progesterone mulai hari ke 15 sampai hari ke 25. Metroragia diatasi dengan progesterone mulai hari ke 16 sampai hari ke 25.
Semua pengobatan tersebut diatas diberikan dalam 3 siklus. Perdarahan lucut akan terjadi sekitar 2-3 hari paska penghentian obat. Keadaan yang sering menyertai pengobatan progesterone ini adalah terjadinya perdarahan bercak, yang diakibatkan oleh nisbah estrogen dan progesterone yang berubah. Hal tersebut dapat diatasi dengan peningkatan dosis atau pemberian gabungan estrogen dan progesterone dalam bentuk kontrasepsi oral.
Pada perdarahan uterus disfungsional kronis dengan bentuk perdarahan bercak prahaid dan paskahaid, pemberian progesterone terkadang masih menimbulkan perdarahan bercak. Keadaan ini tidak dapat dikatakan sebagai dampak pengobatan progesterone sebelum dilakukan pemeriksaan estrogen dan progesterone serum. Jika nisbah estrogen/progesterone menunjukkan nilai yang berbeda dari keadan sebelumnya, perdarahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh pengaruh pengobatan progesterone.
B.            PENGERTIAN ANEMIA
1.             Pengertian
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah.
Anemia Gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb.Anemia terjadi karena kadar hemoglobin (Hb) dalam darah merah sangat kurang. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi.
2.             Penyebab Anemia
Penyebab Umum dari Anemia:
·         Kehilangan darah atau Perdarahan hebat seperti :
ü  Perdarahan  Akut (mendadak), 
ü  Kecelakaan, Pembedahan,
ü  Persalinan,
ü  Pecah pembuluh darah,
ü  perdarahan Kronik (menahun),
ü  Perdarahan menstruasi yang sangat banyak,
ü  Hemofilia.
·         Berkurangnya pembentukan sel darah merah  seperti:
ü  Defesiensi zat besi,
ü  Defesiensi vitamin B12,
ü  Defesiensi asam folat,
·         Penyakit kronik. Gangguan produksi sel darah merah seperti
ü  ketidaksanggupan sumsum tulang belakang membentuk sel- sel darah.
3.             Klasifikasi Anemia
Ada 2 penggolongan Anemia yaitu:
a.              Berdasarkan Morfologinya:
                 i.            Anemia Mikrositik Hipokrom
1.      Anemia Defisiensi Zat besi
Adalah Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya persediaan besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) sehngga pembentukan hemoglobin berkurang.
2.      Anemia Penyakit Kronik
Adalah anemia pada penyakit ini merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat.
               ii.            Anemia Makrositik
1.      Defisiensi vitamin B12
Adalah Anemia yang diakibatkan oleh karena kekurangan vitamin B12 dikenal dengan nama anemia pernisiosa.
2.      Defisiensi Asam folat
Adalah  bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA. Jumlah asam folat dalam tubuh berkisar 6-10 mg, dengan kebutuhan perhari 50mg. Asam folat dapat diperoleh dari hati, ginjal, sayur hijau, ragi. Asam folat sendiri diserap dalam duodenum dan yeyenum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan didalam hati. Tanpa adanya asupan folat, persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan.
                  iii.            Normositik Normokron
1.       Anemia karena perdarahan
Adalah Perdarahan yang banyak saat trauma baik di dalam maupun di luar tubuh akan menyebabkan anemia dalam waktu yang relatif singkat. Perdarahan dalam jumlah banyak biasanya terjadi pada maag khronis yang menyebabkan perlukaan pada dinding lambung. Serta pada wanita yang sedang mengalami menstruasi dan post partus.
b.             Berdasarkan beratnya :
                   i.       Anemia aplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh ketidaksanggupan sum sum tulang belakang membentuk sel darah merah.
                 ii.       Anemia Hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya.
4.             Tanda Dan Akibat Anemia
Tanda – tanda dari penyakit anemia yakni:
a.              Lesu, lemah , letih, lelah, lalai (5L).
b.             Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, dan konjungtiva pucat.
c.              Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan  menjadi pucat.
d.             Nyeri tulang, pada kasus yang lebih parah, anemia menyebabkan tachikardi, dan pingsan.
Akibat dari penyakit anemia yakni:
1.      Anak-anak :
·         Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
·         Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak.
·         Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena system imun menurun
2.      Wanita :
·         Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit.
·         Menurunkan produktivitas kerja.
·         Menurunkan kebugaran.


3.      Remaja putri :
·         Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
·         Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
·         Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.
·         Mengakibatkan muka pucat.
4.      Ibu hamil :
·         Menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan.
·         Meningkatkan risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau  BBLR (<2,5 kg).
·         Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan/atau bayinya.
5.             Penanggulangan Anemia
Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain :
a.       Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia remaja.
b.      Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk meningkatkan absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es, minuman ringan yang mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
c.       Suplementasi besi. Merupakan cara untuk menanggulangi ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada remaja dosis 1 mg/KgBB/hari.
d.      Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium.
e.       Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih merupakan pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi .

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tdk ada manajemen askeb dr langkah I- langkah VII ya?

    BalasHapus
  3. Tdk ada manajemen askeb dr langkah I- langkah VII ya?

    BalasHapus
  4. Tdk ada manajemen askeb dr kala I-IIV nya y?

    BalasHapus