BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL (PUD)
Pengertian
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan
uterus abnormal dalam hal jumlah, frekuensi, dan lamanya yang terjadi baik di
dalam maupun di luar siklus haid, merupakan gejala klinis yang semata-mata
karena suatu gangguan fungsional mekanisme kerja poros
hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium tanpa adanya kelainan organik alat
reproduksi (Ali, 1989).
Perdarahan uterus disfungsional merupakan sebab tersering
perdarahan abnormal per vaginam pada masa reproduksi wanita. Dilaporkan
gangguan ini terjadi pada 5-10% wanita (Dodds, 2004). Lebih dari 50% terjadi
pada masa perimenopause, sekitar 20% pada masa remaja, dan kira-kira 30% pada
wanita usia reproduktif (Chalik, 1998). Ras bukan faktor penting, tetapi
insidensi leiomyoma pada wanita ras Afrika lebih tinggi dan mereka memiliki
kadar estrogen yang lebih banyak, karena itu mereka cenderung untuk lebih
sering mengalami episode perdarahan abnormal pervaginam (Dodds, 2004).
Diagnosis dari PUD baru dapat ditegakkan bila penyebab
organik dan fungsional lain (seperti kehamilan, infeksi maupun tumor) dari
perdarahan abnormal tersebut sudah disingkirkan. Karena itu diagnosis PUD
seringkali membutuhkan waktu yang lama. Terapinya tergantung dari usia
penderita, waktu, dan intensitas perdarahan (Davidson, 1999). Hingga tahun
1980-an, histerektomi sering digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus yang
berat, tetapi saat ini cara tersebut bukan merupakan pilihan yang utama,
terutama pada wanita yang masih ingin memiliki anak. Dilatasi dan kuretase juga
dapat dilakukan sebagai upaya pengobatan, namun di Indonesia cara ini tabu
dilakukan pada wanita yang belum menikah, karena himen sangat tinggi nilainya,
oleh karena itu usaha pengobatan secara hormonal menjadi salah satu pilihan
walaupun pemberiannya harus diawasi secara ketat karena memiliki banyak efek
samping (Ali, 1989).
Perdarahan abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi
maupun lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis
gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium,
endometrium tanpa kelainan organik alat reproduksi, seperti radang, tumor,
keganasan, kehamilan atau gangguan sistemik lain (Dodds,2004).
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang
kelainan-kelainan ovulasi, suklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang
ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus
disfungsional dapat dibagi seperti table 1 4
Tabel 1. Latar belakang kelainaan perdarahan uterus disfungsional
(PUD) dan bentuk kelainannya.
Dasar kelainan
|
Bentuk klinis
|
Ovulasi
|
PUD ovulatorik
PUD anovulatorik
|
Siklus
|
Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Amenorea
|
Jumlah perdarahan
|
Menoragia
Perdarahan bercak prahaid
Perdarahan bercak paskahaid
|
Anemia
|
PUD ringan
PUD sedang
PUD berat
|
Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan
satu dari tiga keadaan ketidak seimbangan hormonal, berupa: estrogen
breakthrough bleeding, estrogen withdrawal bleeding dan progesterone
breakthrough bleeding.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan
abnormal terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah
ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau
memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum.Perdarahan uterus
disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan
reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik
perdarahan abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah
defisiensi progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak terbentuknya
korpus luteum aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat
estrogen terhadap endometrium tak ber lawan.Haampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun
pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah
menars.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah
per darahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang
dan memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan
uterus disfungsional kronis jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml
terjadi terus menerus atau tidak tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau
dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8
hari, tidak memerlukan tindakan 5 penghentian perdarahan segera, dan dapat
terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.
Penatalaksanaan Secara Umum Perdarahan Uterus Disfungsional
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum
perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:
ü
Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan
dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars, reproduksi dan
perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita yang telah
dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
ü
Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan
mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau tidak
ü
Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal
dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar kelainan
dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus
disfungsional adalah:
a. Memperbaiki
keadaan umum
b. Menghentikan
perdarahan
c. Mengembalikan
fungsi hormon reproduksi.
Yang meliputi:
pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus
anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi
persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
d. Menghilangkan
ancaman keganasan
Pada perdarahan
uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan adalah memperbaiki
keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua adalah menghentikan
perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah keadaan akut
teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal
siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi.
Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus
berturut-turut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk
meniadakan patologi yang ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus
disfungsional.
Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Perbaikan
keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum
yang buruk, pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang
terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus
disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan
diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
b. Penghentian
perdarahan
a.
Pemakaian hormon steroid seks
ü
Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk
menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu:
a.
Penyembuhan luka (healing effect)
b. Pembentukan
mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
c. Vasokonstriksi,
karena merangsang pembentukan prostaglandin
d. Meningkatkan
pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis.
ü
Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat
menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain adalah
noretisteron, MPA, megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol.Noretisteron
dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari,
medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, megestrol
asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta
linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih rinci terhadap
pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian tersendiri .
ü
Androgen
Androgen Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak
cocok dengan estrogen dan progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain
adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu
turunan 17-α-etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari
selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen
akan berakibat maskulinisasi.
b. Pemakaian
penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya
pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2α meningkat
secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat
anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus
disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu
asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama
3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
c.
Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada
perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas
fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur
utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan
akan mengeluarkan protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi
plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan
yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan
adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari)
d. Pengobatan
operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi
laser dan histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari
jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok
dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik,
terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat
menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata
dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus
disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah
pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan
kambuhnya cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang.
Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk
menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika
pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan. Pada ablasi endometrium
dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporasi
neodymium YAG laser.
Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan
mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang
punya kontrindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain
dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi. Tindakan
histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan
usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan
terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi
harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang.
Selain itu histerketomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional
dengan gambaran histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan
pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase.
c. Mengembalikan
keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi
normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan
suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
d.
Siklus ovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik secara klinis
tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia dan perdarahan pertengahan
siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan
siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau
etinilestradiol 50 mikogram/ hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan
bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau
didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26.
Beberapa penulis menggunakan progesterone dan estrogen pada polimenorea dan
menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5
hingga hari ke 25 siklus haid.
e. Siklus
anovulatorik.
Perdarahan uterus
disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesterone.
Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi
dilakukan dengan pemberian progesterone, seperti medroksi progesterone asetat
dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan
didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid,
linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25
siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal
setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan
ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan
penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10
hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25.
Dasar Penggunaan Progesteron Dalam Pengobatan Perdarahan Uterus
Disfungsional Kronis
Progesteron merupakan hormon golongan progestin yang
terpenting pada manusia. Selain karena khasiat hormonalnya, progesterone juga
penting karena merupakan pembakal estrogen, androgen dan adrenokortiko steroid.
Hormon ini pertama kali diisolasi dari korpus luteum. Pada awalnya progestin
yang dikenal secara alamiah adalah progesterone. Belakangan dihasilkan jenis
progestin lain yang dikenal sebagai progestin sintetik.
1.
Sifat kimia dan klasifikasi
Progesteron merupakan steroid dengan jumlah atom karbon (C)
21, yang dengan pengurangan atau penambahan atom karbon atau dengan aton O akan
dihasilkan progestin lain. Melalui proses reduksi progestin diubah menjadi satu
bentuk inaktif yaitu pregnandiol. Senyawa ini dipakai sebagai petandaa adanya
progesterone di urine.3
Progesteron alamiah larut dalam lemak dan cepat mengalami
absorbsi sehingga tidak disimpan ditubuh. Untuk mengatasi kekurangan itu, telah
dibuat progestin sintetik yang larut dalam air dan lambat diabsorbsi sehingga
kerjanya lebih lama dan dapat digunakan secara oral. Hingga kini dikenal dua
golongan progestin yaitu:
a. Progestin
yang berasal dari progesterone alamiah
1.Turunan
progesterone
2.Turunan
asetoksiprogesteron
b. Progestin
yang berasal dari testosteron
1.Turunan
testosteron
2.Turunan
19 nortestosteron
3.Biosintesis,
metabolisme dan sekresi
Progesteron terutama dibentuk di ovarium oleh sel granulosa
folikel matang, dan korpus luteum dari bahan dasar kolesterol melalui senyawa
antara (pregnenolon) dengan bantuan enzim dehidrogenase dan isomerase. Selain
itu hormon tersebut dihasilkan pula oleh plasenta, testis dan sel-sel korteks
kelenjar adrenal. Sintesis dan sekresinya dipengaruhi oleh hormon LH. Pada fase
praovulasi hormon ini disekresikan 1-3 mg /hari, sedangkan pada fase luteal
madya sekresinya mencapai puncak (20-30 mg/hari). Kemudian menurun lagi dan
pada fase haid mencapai keadaan terendah karena hanya disekresikan 1 mg/hari.
Pengubahan progesterone alamiah menjadi bentuk tidak aktif,
10-20% berlangsung dihati. Dalam 4 hari pertama setelah disuntikkan, 40-70%
progesterone dapat ditemukan dalam urine dan seperenamnya dijumpai dalam bentuk
pregnandiol (metabolit biologis inaktif) dalam bentuk terikat dengan asam glukoronat.
Selebihnya 13-20% keluar dalam feses dan 10% disimpan dalam lemak tubuh.
Progestin sintetik turunan testosteron barulah akan memiliki khasiat biologis,
jika terlebih dahulu diaktifkan di hati menjadi noretisteron.
2.
Khasiat biologis pada genitalia interna
Disamping
khasiat progesteronnya, progestin juga mempunyai khasiat androgen dan estrogen
yang derajatnya bergantung pada jenisnya.
Pada endometrium, hormon ini mengakibatkan fase sekresi jika
sebelumnya telah dirangsang oleh estrogen. Perubahan tersebut ini ditandai oleh
tampaknya badan-badan golgi pada sel endometrium. Setelah 14 hari paska ovulasi
rangsangan progestron akan lucut. Penggunaan progesterone yang lebih dari 14
hari akan mengakibatkan degenerasi endometrium, stroma edematosa dan menyusut.
Jika sediaan ini dipakai lebih lama lagi, maka endometrium akan menjadi
atrofik.
Jika endometrium yang telah mengalami perangsangan estrogen
(fase proliferasi) memperoleh progesterone dosis yang relatif rendah 20-40 mg)
maka aterjadi perdarahan bercak. Perdarahan tersebut timbula akibat
pengelupasan permukaan endometrium. Penghentiannya dapat dilakukan dengan
pemberian progesterone yang cukup, tanpa mengubah fase endometrium karena
hormon ini bekerja langsung pada pembuluh darah. Fase sekresi baru akan timbul
jika dosis mencapai 200 mg atau pada pemakaian 10 hari
Terhadap miometrium progestron berkhasiat menghambat
kontraksi. Penurunan kadarnya akan cepat mempengaruhi kerja oksitosin dan
prostaglandin.
Perkembangan epitel vagina ternyata
juga dipengaruhi oleh progesterone, dasar ini telah dipakai untuk menilai
ovulasi dengan pemeriksaan sitologi serial usap vagina.
3.
Dasar Pemilihan Progestin
Melihat kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
masing-masing jenis progestin, maka untuk memperoleh hasil guna yang tinggi,
diperlukan ketepatan memilih progestin yang sesuai dengan keadaan penderita.
Secara umum pemilihan itu didasarkan pada:
i.
Farmakokinetik
Progestin golongan turunan progesterone alamiah merupakan
senyawa yang telah aktif. Sedangkan golongan turunan testosteron merupakan
senyawa yang belum aktif, sehingga harus diubah terlebih dahulu didalam hati
menjadi noretisteron. Prasyarat ini merupakan beban bagi hati. Selain itu
sebagian besar obat mengalami biotransformasi di dalam hati sehingga akan dapat
menimbulkan interaksi dengan hormon progestin.
ii.
Farmakologi
Khasiat metabolik dari kedua golongan progestin tersebut di
atas dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Farmakologi progestin.
Progestin
|
Inhibisi
gonadotropin
|
Aktifitas
|
Metabilisme
|
|||
Androgen
|
Estrogen
|
Katabolisme
|
Anabolisme
|
Retensi
|
||
Gol I
|
-
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Gol II
|
+
|
+
|
+
|
-
|
+
|
+
|
Ket: Gol
I : Progestin turunan progesterone alamiah
Gol II : Progestin turunan
testosteron
Keuntungan dari progestin turunan progesterone alamiah adalah
bahwa hormon ini:
2. Mempengaruhi
metabolisme lipid (HDL) seperti diketahui HDL merupakan lipoprotein yang
kardioprotektif, sehingga penurunan HDL akan meningkatkan risiko aterosklerosis
dan penyakit jantung koroner.
3. Menghambat
enzim 5-reduktase, sehingga mampu menurunkan kadar testosteron penyebab
maskulinisasi.
4. Tidak
mengganggu fungsi ovarium dan sintesis steroid seks
Golongan progestron alamiah lebih banyak mempunyai keuntungan
dibandingkan dengan golongan progesterone turunan testosteron baik segi
afinitas terhadap reseptor progesterone di uterus maupun potensi relatif
khasiat progesterone, estrogen dan androgen.
4.
Golongan progestin turunan progesterone alamiah.
Golongan hormon ini merupakan hasil rekayasa dari progestron
alamiah, sehingga khasiatnya menyerupai induknya. Rekayasa ini dikembangkan
karena adanya keterbatasan sifat-sifat progesterone alamiah. Rumus kimianyapun
juga menyerupai rumus kimia progestron. Jenis-jenis progestin turunan progesterone
alamiah adalah:
1. Progesteron
(preg-4-ene-3,20-dion)
2. Didrogesteron
(6-dehiroretro progesterone)
3. Hidroksiprogestron
kaproat
4. Medroksi
progesterone asetat (6α-metil 17α asetoksi progesterone)
5. Megestrol
asetat
5.
Mekanisme kerja
Golongan progestin ini menyebabkan perubahan pada endometrium
yang telah mengalami perangsangan estrogen. Dari berbagai jenis hormon ini
golongan hidroksi progesterone kaproat yang punya khasiat hambatan
gonadotropin.
Mekanisme yang pasti bagaimana progesterone menghentikan
perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional belum sepenuhnya dapat
diterangkan. Dipikirkan kemampuan ini dicapai berkat khasiat progestron
terhadap pembentukan prostaglandin, pembentukan dan stabilisasi dinding
lisosom, penghambatan kontraksi miometrium dan perangsangan arteriol. Khasiat
tersebut diperoleh secara tersendiri atau sebagai interaksi dari
pengaruh-pengaruh itu.
Sintesis prostaglandin dipengaruhi oleh kadar progesterone
melalui perangsangan pembentukan badan golgi lisosom sel endometrium. Di dalam
badan ini disimpan enzim-enzim hidrolase asil. Enzim utama dari hidrolase asil
adalah fosfolipase A2 yang berfungsi sebagai katalisator pada pembentukan
prostaglandin.
Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat dengan
katalisator enzim fosfolipase A2. Dalam hal ini progesterone memiliki dua
khasiat penting, yaitu menstabilkan dinding lisosom ini sehingga menghambat
keluarnya enzim fosfolipase A2 ke sitoplasma dan mengaktifkan enzim
15-hidroksi prostaglandin dehidrogenase, suatu enzim penghancur prostaglandin.
Kedua kerja ini menyebabkan pembentukan prostaglandin terhambat.
Selain itu progesterone melalui proses aromatisasi juga
memicu dam memelihara pembentukan prolaktin pada endometrium yang sebelumnya
mengalami perangsangan estrogen. Pada kadar yang tinggi ternyata prolaktin
mampu menghambat penbentukan prostaglandin. Dengan demikian prolaktin ikut
berperan dalam penghentian perdarahan.
Progesteron juga mampu menetralkan khasiat estrogen pada
endometrium dengan merangsang perubahan estrogen menjadi metabolit yang
inaktif, estron. Pengubahan ini dicapai melalui perangsangan estradiol
dehidrogenase, estrogen sulfotransferaase dan aromatisasi. Selanjutnya,
progesterone juga merupakaan anti mitosis dan anti pertumbuhan sel endometrium
serta menurunkan konsentrasi reseptor endometrium.
Terhambatnya pembentukan dan turunnya kadar prostaglandin,
terutama PgF2α
ketika kadar progesterone tinggi, menyebabkaaan berkurang atau
hilangnya kontraksi miometrium, terutama subendometriumnya. Pada pihak lain
kadar prostaglandin yang rendah menyebabkan dua perubahan yaitu:
a.
Lenyapnya vasokonstriksi arteriol, sehingga
daerah-daerah iskemik akan mendapatkan pasokan darah lagi.
b.
Turunnya kadar leukotrien, sehingga enzim
hidrolitik dan oksidase (penghambat jaringan) tidak dapat diaktifkan lagi.
Dengan demikian hasil akhir dari pemberian progesterone pada perdarahan uterus
disfungsional akan menghentikan perdarahan. Sampai dosis tertentu, merangsang
pertumbuhan sel-sel epitel kelenjar endometrium dan arteriol yang tampil
sebagai henti perdarahan.
Penggunaan Progestin Untuk Pengobatan Perdarahan Uterus
Disfungsional Kronis
Pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan hormon
progesterone didasarkan pada gejala klinis dan patofisiologinya. Pada
perdarahan uterus disfungsional anovulatorik maksud pemberian progesteron
selain untuk menghentikan perdarahan, juga adalah untuk mengembalikan panjang
siklus haid kebatas normal.
a.
Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik.
Bentuk klinis perdarahan uterus disfungsional ovulatorik
adalah oligomenorea dan polimenorea. Pada oligomenorea dasar dari terjadinya
perdarahan ini adalah fase proliferasi yang memanjang atau fase sekresi yang memanjang.
Pada fase proliferasi yang memanjang diberikan progesterone selama 10 hari,
mulai hari ke 15 hingga hari ke 25 siklus haid. Sedangkan pada fase sekresi
yang memanjang progesterone diberikan mulai hari ke 17 sampai hari ke 25,
(tabel 3)
Tabel 3. Jenis,
dosis dan cara pemberian progesterone pada PUD kronik.
Jenis
Progestin
|
Dosis mg/hari
|
Cara pemberian
|
Sediaan mg/ml
|
Nama dagang
|
Progesteron
|
50-100
|
Im
Sup
|
Susp 25,50,100
Sup 25
|
|
MPA
|
10-20
|
Oral
|
Tab 2,5,10
|
Provera
|
Hidroksi progesteron
|
125-250/ siklus
|
Im
|
Susp 125,250
|
Dilalutin
Proluton depot
|
Didrogesteron
|
10-20
|
Oral
|
Tab 10
|
Duphaston
|
Linestrenol
|
5-10
|
Oral
|
Tab 5
|
Endometril
|
Noretisteron
|
5-20
|
Oral
|
Tab 5,10
|
Primolut N
|
b.
Perdarahan uterus disfungsional karena kelainan
korpus luteum.
Kelainan korpus luteum dapat berupa insufisiensi korpus
luteum atau korpus luteum persisten (memanjang).
Bentuk klinis pada insufisiensi korpus luteum adalah bercak
prahaid dan polimenorea. Kedua kelainan ini diobati dengan progestron mulai
hari ke 17 hingga hari ke 26. Korpus luteum persisten akan menimbulkan bentuk
klinik oligomenorea, seperti juga pada oligomenorea yang lain, disini juga
diberikan progesterone mulai hari ke 15 hingga hari ke 25.
c.
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik.
Perdarahan uterus disfungsional kronik anovulatorik
menampilkan gejala oligomenorea dan metroragia. Disini oligomenorea diatasi
dengan pemberian progesterone mulai hari ke 15 sampai hari ke 25. Metroragia
diatasi dengan progesterone mulai hari ke 16 sampai hari ke 25.
Semua pengobatan tersebut diatas diberikan dalam 3 siklus.
Perdarahan lucut akan terjadi sekitar 2-3 hari paska penghentian obat. Keadaan
yang sering menyertai pengobatan progesterone ini adalah terjadinya perdarahan
bercak, yang diakibatkan oleh nisbah estrogen dan progesterone yang berubah.
Hal tersebut dapat diatasi dengan peningkatan dosis atau pemberian gabungan
estrogen dan progesterone dalam bentuk kontrasepsi oral.
Pada perdarahan uterus disfungsional kronis dengan bentuk
perdarahan bercak prahaid dan paskahaid, pemberian progesterone terkadang masih
menimbulkan perdarahan bercak. Keadaan ini tidak dapat dikatakan sebagai dampak
pengobatan progesterone sebelum dilakukan pemeriksaan estrogen dan progesterone
serum. Jika nisbah estrogen/progesterone menunjukkan nilai yang berbeda dari
keadan sebelumnya, perdarahan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh pengaruh
pengobatan progesterone.
B.
PENGERTIAN ANEMIA
1.
Pengertian
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel
darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah
merah berada di bawah normal. Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai
normal eritrosit, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cell
(hematokrit) per 100 ml darah.
Anemia Gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam
darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb.Anemia
terjadi karena kadar hemoglobin (Hb) dalam darah merah sangat kurang. Di
Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe)
hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi.
2.
Penyebab Anemia
Penyebab Umum
dari Anemia:
·
Kehilangan
darah atau Perdarahan hebat seperti :
ü
Perdarahan
Akut (mendadak),
ü
Kecelakaan,
Pembedahan,
ü
Persalinan,
ü
Pecah
pembuluh darah,
ü
perdarahan
Kronik (menahun),
ü
Perdarahan
menstruasi yang sangat banyak,
ü
Hemofilia.
·
Berkurangnya
pembentukan sel darah merah seperti:
ü
Defesiensi
zat besi,
ü
Defesiensi
vitamin B12,
ü
Defesiensi
asam folat,
·
Penyakit
kronik. Gangguan produksi
sel darah merah seperti
ü
ketidaksanggupan
sumsum tulang belakang membentuk sel- sel darah.
3.
Klasifikasi Anemia
Ada 2
penggolongan Anemia yaitu:
a.
Berdasarkan
Morfologinya:
i.
Anemia
Mikrositik Hipokrom
1. Anemia Defisiensi Zat besi
Adalah Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya persediaan besi untk eritropoiesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) sehngga pembentukan
hemoglobin berkurang.
2. Anemia Penyakit Kronik
Adalah anemia pada penyakit ini
merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi yang dapat
ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat.
ii.
Anemia
Makrositik
1. Defisiensi vitamin B12
Adalah Anemia yang diakibatkan oleh
karena kekurangan vitamin B12 dikenal dengan nama anemia pernisiosa.
2. Defisiensi Asam folat
Adalah bahan esensial untuk
sintesis DNA dan RNA. Jumlah asam folat dalam tubuh berkisar 6-10 mg, dengan
kebutuhan perhari 50mg. Asam folat dapat diperoleh dari hati, ginjal, sayur
hijau, ragi. Asam folat sendiri diserap dalam duodenum dan yeyenum bagian atas,
terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan didalam hati. Tanpa
adanya asupan folat, persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu
4 bulan.
iii.
Normositik
Normokron
1. Anemia karena perdarahan
Adalah Perdarahan yang banyak saat trauma
baik di dalam maupun di luar tubuh akan menyebabkan anemia dalam waktu yang
relatif singkat. Perdarahan dalam jumlah banyak biasanya terjadi pada maag
khronis yang menyebabkan perlukaan pada dinding lambung. Serta pada wanita yang
sedang mengalami menstruasi dan post partus.
b.
Berdasarkan
beratnya :
i.
Anemia aplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh
ketidaksanggupan sum sum tulang belakang membentuk sel darah merah.
ii.
Anemia Hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan oleh
proses hemolisis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum
waktunya.
4.
Tanda Dan Akibat Anemia
Tanda – tanda
dari penyakit anemia yakni:
a.
Lesu,
lemah , letih, lelah, lalai (5L).
b.
Sering
mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang, dan konjungtiva pucat.
c.
Gejala
lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan
menjadi pucat.
d.
Nyeri
tulang, pada kasus yang lebih parah, anemia menyebabkan tachikardi, dan
pingsan.
Akibat dari
penyakit anemia yakni:
1. Anak-anak :
·
Menurunkan
kemampuan dan konsentrasi belajar.
·
Menghambat
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak.
·
Meningkatkan
risiko menderita penyakit infeksi karena system imun menurun
2. Wanita :
·
Anemia
akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit.
·
Menurunkan
produktivitas kerja.
·
Menurunkan
kebugaran.
3. Remaja putri :
·
Menurunkan
kemampuan dan konsentrasi belajar.
·
Mengganggu
pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
·
Menurunkan
kemampuan fisik olahragawati.
·
Mengakibatkan
muka pucat.
4.
Ibu hamil :
·
Menimbulkan
perdarahan sebelum atau saat persalinan.
·
Meningkatkan
risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau BBLR (<2,5 kg).
·
Pada
anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan/atau bayinya.
5.
Penanggulangan Anemia
Tindakan
penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain :
a. Konseling untuk membantu memilih bahan
makanan dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia remaja.
b. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber
hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan laut disertai minum sari buah yang
mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk meningkatkan absorbsi besi dan
menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es, minuman ringan yang
mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
c. Suplementasi besi. Merupakan cara untuk
menanggulangi ADB di daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi
besi pada remaja dosis 1 mg/KgBB/hari.
d. Untuk meningkatkan absorbsi besi,
sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama susu, kopi, teh, minuman
ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang mengandung phosphate dan
kalsium.
e. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin
dan hematokrit masih merupakan pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi .
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTdk ada manajemen askeb dr langkah I- langkah VII ya?
BalasHapusTdk ada manajemen askeb dr langkah I- langkah VII ya?
BalasHapusTdk ada manajemen askeb dr kala I-IIV nya y?
BalasHapus